BacaBuKuy! Personal Branding Code
Silih Agung Wasesa, salah seorang tokoh
senior praktisi PR di Indonesia, berbagi
pemikiran serta wawasannya ke dalam sebuah buku. Buku Personal branding Code
yang saya coba resume ini merupakan trilogi dari 2 buku yang telah beliau
keluarkan sebelumnya, yaitu buku Strategi
Public Relations dan buku Political
Branding.
Dalam
kata pengantar, beliau bercerita bahwa buku ini merupakan buah pemikirannya
dari pengalaman selama 22 tahun berkarir, yang mana dalam 17 tahun diantaranya
beliau menekuni ‘personal branding’.
Dari pengalamannya tersebut, beliau membuat dan memodifikasi formula-formula
khusus yang dijadikan rumusan rahasia untuk membangun personal branding yang kemudian beliau tuangkan di dalam buku ini.
Beliau
menjelaskan bahwa, tiap karakter personal memiliki rumusan yang berbeda satu
sama lain, tepatnya terdapat pola-pola yang membentuk tiap karakter. Pola
tersebut yang kemudian diturunkan menjadi sebuah rumusan baku yang bisa
dikatakan sebagai sebuah rumusan rahasia beliau dalam membangun personal branding klien yang beliau
tangani. Baik itu pada saat menangani para CEO, selebritas, pejabat daerah,
hingga Presiden RI beserta ibu negara.
---
Jika
berbicara mengenai personal branding,
memang, selalu ada semacam blocking paradigma
atau persepsi yang salah dalam diri kebanyakan orang. Tak jarang kesan yang
pertama kali muncul ketika berbicara personal
branding adalah kegiatan pencitraan yang berkonotasi negatif.
Justru
ketika kita tahu, personal branding
yang betul itu ialah yang menomorsatukan manfaat yang didapat masyarakat
berkaitan dengan kompetensi yang kita miliki. Dalam kata lain ialah, bagaimana
kompetensi yang ada dalam diri kita dapat dikonversikan menjadi benefit untuk
masyarakat.
Ada
sekiranya 13 blocking paradigma yang
terjadi terkait personal branding. Berikut
3 diantaranya blocking paradigma yang
mesti dibongkar.
1)
Personal branding harus
membuat seseorang terkenal;
Teknik
dasar personal branding sebetulnya
bermain di lingkungan kecil. Contoh, keluarga, tempat kerja, itu merupakan
lingkungan kecil. Bila ingin menjadi besar maka hanya perlu memperbesar
skalanya. Lalu, kuncinya bukan kata ‘terkenal’ tetapi ‘BERKOMPETEN’, yaitu
bagaimana membangun reputasi diri sesuai dengan kompetensi dan passion kita.
2)
Publisitas dapat
menaikan personal branding;
Hindari
publisitas jika memang tidak ada benefitnya terhadap pengembangan revenue personal branding kita. Revenue
bukan hanya berbentuk materi, bisa saja revenue
yang bersifat intangible. Ada
istilah, buat apa sohor kalau tekor?.
3)
Karakter harus mempunyai
jarak sosial? Tidak!;
Personal branding dihasilkan dari publik
itu sendiri, maka baiknya tidak berjarak. Contoh seperti musisi dengan
penggemarnya, lihat saja Iwan Fals, Slank. Lalu coba bandingkan dengan musisi
lainnya yang memiliki fans, tetapi punya jarak dengan mereka. Dapat bertengger
lama kah? Pun begitu dengan politikus. Lihat saja politikus yang tidak
memposisikan dirinya ‘raja’, akan selalu begitu melekat dibenak publik.
---
Dari blocking paradigma ini tak ayal membuat
banyak pribadi yang malas dan enggan memperdalam kemampuan personal branding-nya. Seolah semuanya itu hanyalah polesan, bukan
karakter asli diri yang muncul. Personal
branding tidak hanya karena awareness
yang tinggi, lebih dari itu adalah bagaimana membangun karakter diri yang kuat.
Selalu
akan muncul pertanyaan, “Kenapa harus personal
branding, sih? Itu kan pencitraan, kerja kok dimanipulasi, ga ada
keikhlasan.”
Pertanyaan
ini tidak salah, mengingat memang manipulasi merupakan hal yang dalam keadaan
tertentu dijadikan tampak lebih baik dengan polesan. Istilah lainnya
pencitraan. Contoh pencitraan: Politikus itu dasarnya galak, korup, tetapi
dipoles untuk pura-pura ramah dan baik depan media, diberitakan bagus.
Ada
orang-orang yang menggunakan istilah ‘Fake
it until you make it’, jelas yang seperti itu menciderai personal branding sesungguhnya!
---
Lah, lalu
harus bagaimana?
Dalam personal branding sangat tidak
dianjurkan untuk melakukan manipulasi. Sebaiknya, lakukan rekayasa reputasi. Rekayasa sangat berbeda dengan manipulasi. Rekayasa
itu berdasarkan situasi dan potensi yang nyata, sama sekali tidak ada
kebohongan di sini.
Contoh
rekayasa seperti, untuk mem-branding
diri menjadi ayah yang baik, cukup dengan menjadi pendengar, tidak usah
menggunakan amarah ketika ada kesalahan dari anak. Jadi, hal-hal yang sudah ada
di dalam diri seperti ‘kesabaran, kebaikan’ itu dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh diri sendiri. Maka maksudnya dalam arti lain rekayasa dalam personal branding yaitu merekayasa
potensi-potensi yang sudah ada, menjadi sesuatu yang unggul.
---
Secara
umum dalam buku ini dijelaskan, rumusan rahasia dalam membangun personal branding yang dimaksud di
paragraf kedua tersebut dibuat ke dalam satu formula dasar, yaitu yang bisa
disebut CIRCLE-P.
P itu sendiri merupakan singkatan
dari Personal yang terdiri dari 5
elemen melingkari satu sama lain, bahu membahu dalam menciptakan reputasi
personal. Ke-5 elemen tersebut antara lain Competency, Connectivity, Creativity,
Contribution,
dan Compliance.
Inti
dari personal branding ialah
bagaimana menempatkan diri kita secara berbeda dalam pikiran target audiensi. Untuk
itu, langkah pertama dalam personal
branding yaitu dengan menggunakan Competency.
Konsep competency
dikembangkan untuk menciptakan diferensiasi diri hingga memiliki Unique Selling Proposition (USP) dan Emotional Selling Proposition (ESP). Secara
sederhananya, “apakah keunikan dalam diri kita yang mampu dijual kepada orang
lain?” Titik dorongnya adalah menciptakan perbedaan dengan yang lain dalam
benak audiens.
Kemudian,
diperlukan passion atau hasrat dalam
membangun competency sehingga hal apa yang kita lakukan merupakan
kesenangan hati. Selanjutnya ketekunan, yaitu bagaimana kita dapat tetap
konsisten dengan apa yang kita lakukan untuk menciptakan persona diri.
Contoh
jika kita seorang chef, ingin dilihat sebagai chef yang bagaimanakah kita? Chef
yang lucu, chef yang pandai karobat, chef yang tradisional? Kurang lebih
begitu.
Berikut
merupakan alur pemanfaatan competency
yang saya coba ilustrasikan ke dalam sebuah gambar.
Dari gambar tersebut mungkin kita dapat sedikit lebih mengerti mengenai bagaimana proses competency yang diperlukan dalam personal branding.
Dari gambar tersebut mungkin kita dapat sedikit lebih mengerti mengenai bagaimana proses competency yang diperlukan dalam personal branding.
Setelah competency, langkah berikutnya yang kita harus jalankan adalah Connectivity. Dalam konteks ini, connectivity diartikan bagaimana kita dapat menghubungkan kompetensi yang telah kita miliki dengan dunia luar. Kata kuncinya, seberapa banyak perbincangan yang kita ciptakan tentang kompetensi yang dimiliki oleh diri kita.
Bagaimana
perbincangan dapat diciptakan? Apakah melalui publikasi di media massa atau
media lainnya? Tentu, perbincangan yang baik itu ialah perbincangan berbasis story telling. Yaitu bagaimana kita
membuat rangkaian cerita dalam benak audiens mengenai keunggulan-keunggulan
kita.
Untuk
membuat ide cerita tersebut, maka perlulah Creativity.
Creativity berfungsi menghindarkan
kejenuhan dalam personal branding.
Creativity diperlukan untuk menciptakan inovasi, bagaimana kita membangun
kreasi agar reputasi yang kita buat tetap mengalir seperti sebuah cerita yang
enak didengarkan.
Elemen creativity ini bukan sekedar membuat
program kreatif yang belum pernah ada. Melainkan elemen strategis yang mampu
membantu personal branding untuk
membangun impresi jangka pendek, melakukan personal
exit strategy ketika terjadi krisis reputasi, dan menciptakan penghasilan
alternatif dari personal branding.
Selanjutnya,
langkah yang perlu diperhatikan dalam personal
branding ialah Compliance dan Contribution. Ini merupakan alat
ukur reputasi untuk melihat titik kekuatan ataupun kelemahan yang sedang kita
bangun.
Compliance harus kita gunakan
untuk membangun reputasi. Unsur-unsur yang terdapat di dalam compliance dapat
didramatisasi secara kreatif. Namun takarannya harus pas, tidak kurang dan
lebih sehingga tidak dikatakan lebay.
Contoh,
ketika Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pernah marah-marah di jembatan
timbang karena memergoki pungli. Menteri BUMN pada waktu itu, Dahlan Iskan
pernah melempar kursi karena petugas tol dianggap lambat melayani pelanggan.
Jadi, dramatisasinya dipastikan harus pas, keadaan dan unsur compliance haruslah mendukung.
Sementara
itu, contribution
adalah seberapa jauh kita mengukur reputasi dari solusi-solusi yang telah kita
berikan. Kata kuncinya bukan apa yang sudah kita kontribusikan, tetapi “bagaimana target audiensi mengetahui apa
yang sudah kita kontribusikan?” Ini bukan masalah riya. Namun lebih
menekankan pada efek jika kontribusi diketahui oleh target audiens dapat berdampak
positif dirasakan sehingga timbul kepercayaan dan tentu menjadi penguat
reputasi diri dalam proses membangun personal
branding.
Berikut merupakan dimensi dari formula CIRCLE-P yang dapat kita terapkan dalam membangun personal branding sesuai penjelasan yang sudah disampaikan di atas.
Memang,
sekilas ketika kita melihat personal
branding itu seperti pertunjukan sulap yang langsung jadi. Tapi pada
kenyataannya, diperlukan kerja keras dan kerja cerdas di belakang pertunjukan
sulap yang keren tersebut.
---
Sebetulnya
masih banyak yang ingin saya sampaikan dari apa yang saya baca di buku ini, rasanya
masih sangat kurang. Isi dari buku ini memberikan kita wawasan yang luas
terlebih karena adanya contoh-contoh kasus yang relevan.
Harapan
saya adalah, semoga pembaca dapat lebih mudah mengerti dan bisa membaca bukunya
secara langsung. Selebihnya saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam merangkung
dan menulis. Semoga bermanfaat! Salam.
---
#01BacaBuKuy!
Personal Branding Code
Silih Agung Wasesa
Oktober 2018
267 Hal | ISBN: 978-602-385-486-8